Minggu, 06 Mei 2018

Left-spoken Words

picture: pinterest/ While You were Sleeping


Sore ini mendung, mungkin sebentar lagi hujan mulai membasahi bumi. Aku suka suasana seperti ini, terasa begitu syahdu dan romantis, apalagi jika ada adegan berlari-lari kecil dengan pacar pakai jaket seadanya. Jam tanganku menunjukkan pukul empat sore kurang sepuluh menit, aku baru saja menyelesaikan mata kuliah ke tiga di hari Senin ini. Usai kelas, aku tak langsung meninggalkan kampus untuk pulang, sengaja aku ke warung bakso depan kampus untuk menemui Aryo, mahasiswa Komunikasi semester 5 yang sekaligus sahabatku yang kuliah di kampus depan, sebuah Universitas Negeri yang cukup di favoritkan di kota ini.
Meski kampus kami berhadapan, tapi kampus kami tidak pernah mengenal kata tawuran seperti sekolah menengah, jelaslah, sudah bukan usianya. Dengan muka yang sudah lusuh dan rambut yang tak kalah lusuh aku segera ke depan. Sebenarnya aku menunggu pacarku menjemput, tapi sehari tak bertemu Aryo itu seperti aku makan sayur tanpa garam, tidak bisa aku dan dia tidak bertukar cerita sehari saja. Setibaku disana, dengan cepat aku duduk di samping Aryo, aku tak harus memesan pada pemilik warung bakso, karena dengan kedipan mata dan acungan jempol saja mereka sudah tahu harus membuatkan apa, bakso kuah tanpa mie, tanpa pangsit, dengan sawi, bawang goreng, dan garam yang banyak serta segelas es jeruk yang sangat manis. Aryo melempar senyumnya padaku, seperti biasa. Senyumnya masih saja mematikan meski aku tiap hari bertemu, mungkin juga karena dipengaruhi faktor wajahnya yang mirip Herjunot Ali. Tanpa menyapa, dia masih sibuk menghabiskan baksonya.
***
                Mendungnya sore ini, membuat aku yakin tidak lama lagi kota ini basah. Aku benci hujan. Sebenarnya bukan masalah yang besar jika hujan, hanya karena aku tak punya mobil, rasanya hujan selalu datang tidak tepat waktu. Hari Senin, hari yang sangat santai. Kuliah hanya dua kredit, mulai kelas pukul sebelas dan belum genap pukul satu kelas akan dibubarkan. Seperti biasa dan seperti mahasiswa pada umumnya, aku tidak langsung meninggalkan kampus karena aku harus rapat ditambah menunggui Maya, mahasiswi Teknik Sipil semester 5, sahabatku yang kuliah di sebuah Universitas swasta yang cukup bergengsi. Kampusnya hanya berseberangan dengan kampusku, jadi aku menungguinya di warung bakso depan kampusku, bukan, depan kampusnya. Ah, dimana sajalah.
Sebenarnya tak menjadi kewajiban juga menemui dia setiap hari, tapi melewatkan sehari saja tidak menemui sahabatku ini rasanya seperti bermain sepak bola tanpa pernah dapat kesempatan menendang bola. Mendekati pukul empat Maya sudah menampakan hidungnya, dia langsung menghampiriku dan dengan hangat menyapa yang hanya kubalas dengan senyumanku. Ya, dia pribadi yang sangat hangat, ditambah dengan wajahnya yang begitu manis, kehangatan pribadinya semakin sempurna. Dengan mengedipkan mata dan mengacungkan jempol dia tak perlu repot-repot memesan bakso dengan segala prasyaratnya, pemilik warung bakso ini sudah sangat hafal apa yang akan dipesan Maya. Duduk di sebelahku,dia langsung sibuk dengan smartphone-nya, sedang aku masih menikmati semangkuk bakso yang kedua kalinya aku pesan.
***
“ Yok, Lo nggak kepikiran macarin gue?” tanyaku membuka percakapan. Aryo tersedak, sepertinya dia sangat kaget mendengar aku bertanya.
“ Gue lagi makan, bisa nggak sih nggak bikin kaget gitu, nanya yang waras dikit kenapa?” protesnya dengan masih terbatuk-batuk.
“ Lo kaget ya? Hahahaha, berasa kena petir ya sama pertanyaan gue?” tukasku sambil tertawa.
“ Gimana nggak kaget cungkriiiing. Lo nanya tiba-tiba, masalah pacaran lagi, sensi gue.” Jawab Aryo menimpali.
“ Ya gue tu khawatir aja sama Lo, tampang sih kayak Herjunot Ali, tapi pacar satu aja nggak ada. Ati-ati lho, jangan-jangan lo bakal jadi perjaka tua, jadi, buat nolongin lo buat keluar dari zona kesendirian lo, gue rela kalo lo emang mau.Aren’t you scared to life alone? Or you are scared to love? Ahahahaaa basi banget lo.” Aku meledeknya.
“ Eh sialan lo cungkring, gue tu bukan nggak laku, cuma gue emang nyari yang bener-bener tepat.” Dia membela.
“ Tepat sih tepat, tapi ya nggak gini juga sih Yok. Coba lo inget-inget lagi, terakhir lo pacaran tu pas kelas satu SMP sebelum akhirnya sekelas sama gue kan? Sama siapa tuh namanya gue lupa. Cewek behel merah yang pakai kacamata bulet kayak punya Harry Potter tapi frame-nya pink, hahahaa” aku tertawa puas bernostalgia.
“ Renata namanya, bukan cewek behel.” Aryo menjawab dengan nada sangat malas.
“ Ihh lo kok kayak marah gitu sih sama gue. Iya-iya Renata. Masih demen Renata ya lo, om?”
“ Enak aja, gue udah males aja ngomonginnya.” Jawabnya tak kalah malas dari sebelumnya.
“ Maaf deh, eh tapi lo masih suka cewe, kan, Yok?” aku masih saja usil bertanya sembari menikmati semangkuk bakso yang sudah disajikan di mejaku.
“ Lo makin ngeselin ya pertanyaannya. Gue kan dah bilang, gue cuma lagi nyari yang paling tepat aja, emang elo, gonta ganti pacar kayak ganti sepatu. Kalo gue mau ambil kesimpulan buat lo setiap tahun satu pacar, eh jumlah mantan lo lebih banyak tuh dari usia lo.” Balasnya dengan sedikit pembelaan.
“ Eh itu bukannya gonta-ganti ya, tapi, lo pernah denger nggak sih kalo kita tuh sering dipertemukan dengan orang yang salah sebelum akhirnya kita menemukan orang yang tepat.”
“ Salah tapi kalo nggak pake dateng ke kost-an malem-malem dengan nangis-nangis darah sih nggak masalah.” Ledek Aryo menyindirku.
“ Sialan lo, gue kan sayang makanya gue nangis tiap kali putus, itu tuh sakit ...”
Belum selesai aku berbicara, dia memotong.
“ Banget, kebayang kan lo udah merancang masa depan yang sempurna banget tiba-tiba kita harus bubar, hahaha sampai hafal gue.” Aryo menirukanku dengan berpura-pura sedang menangis.
                Aku tidak sakit hati mendengarnya meledekku. Tawaku justru menjadi. Entah, bersama dia selalu saja ada alasan untuk selalu tersenyum.
Aryo, kenapa sih lo nggak baca perasaan gue yang paling dalem? Kenapa lo nggak ngisi hati gue di saat kosong? Jadi gue nggak harus menutupi perasaan gue yang kosong dengan gonta-ganti pacar. Gue sayang lo, Yok. Harusnya lo tahu itu, Yok.
***
           Warung bakso rasanya jadi hanya milik kami berdua. Penuh gurauan kami yang saling meledek satu sama lain. Maya tak pernah tersinggung dengan cara bercandaku, aku juga sebenarnya tak pernah keberatan saat dia harus menangis karena sedang putus cinta. Justru, aku ingin melindungi.
May, coba aja lo tahu, sebenernya gue udah nemuin yang paling tepat buat gue, yaitu elo. Tapi lo terlalu cepat mengisi kekosongan hati lo yang nampaknya nggak bisa lebih lama lagi sendiri tanpa cowok dengan gelar pacar. Gue sayang sama lo, May, sayang banget.
***
“ Mmm, May,” tiba-tiba Aryo memanggilku dengan nada yang cukup serius. Hatiku berdebar. Entah, tak pernah seperti ini sebelumnya.
“ Ya?”
“ Viko dateng jam berapa? Udah mau hujan nih. Gue anter lo pulang ya?” Pertanyaannya sangat berbeda dari yang aku harapkan.
“ Oh. Katanya sih bentar lagi sampe kok.” Aku menjawab dengan kecewa, entah, aku juga salah tingkah.
“ Kirain dia masih ribet urusan kampus. Umm, May?”
“Ya?” hatiku berdebar lagi menunggui dia berbicara lagi.
“ Bagi minum, es jeruk gue habis.”
“...”




this short story was written in 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar