Kamis, 22 September 2016

Surat untuk Bapak: Selamat Ulang Tahun



Pagi ini langit Thailand sangat cerah, Pak. Mataharinya menyilaukan, tapi hangat.
Saya hampir terlambat datang ke sekolah karena terlalu nyaman tidur dibalut selimut tebal pinjaman sekolah.

Bapak apa kabar? Semoga Bapak sehat, bapak akan senang lihat saya disini gemukan,  masih banyak kan orang percaya itu ukuran bahagia? Are you happy anyway?

Sugeng tanggap warsa nggih, Pak. Selamat ulang tahun. Entah ini sudah ke berapa belas kali
saya mengucapkan ulang tahun untuk bapak tanpa bapak dengar, karena katanya bapak nggak biasa dengan euphoria ulang tahun, jadi bahkan mengucapkan selamat ulang tahunpun saya nggak berani bilang langsung, tapi, sebenarnya saya ingin mengucapkan langsung di hadapan bapak, dan kalau boleh saya rewel, saya  mau dengar sekali saja bapak mengucapkan selamat ulang tahun untuk saya di bulan Juli.

Bapak, saya kangen. Do you feel the same? I don’t really understand what is happening to us, to our home. I didn’t understand, I don’t understand and will never understand about what the fucking thing that happens to us. Selamanya nggak akan pernah paham karena kalian nggak pernah menjelaskan dengan benar.

Bapak, I got hundreds things to share and to ask to you.

Hari ini, apakah Bapak memikirkan saya?

Saya kangen bapak, satu-satunya laki-laki yang saya pikir nggak akan pernah menyakiti saya. Tapi ternyata saya salah. Saya marah dengan bapak, lebih lagi kecewa, kecewa saya lebih besar. Saya ingin berhenti memikirkan bapak, saya ingin berhenti berbicara dengan bapak dan saya ingin membalas semua rasa sakit dan kesedihan yang saya rasakan, yang bunda rasakan. Tapi saya sadar, saya malah akan menyakiti diri saya lebih sakit lagi.

Akhirnya saya mencoba berhenti menggenggam bola api yang akan saya lempar ke bapak, sebelum saya sendiri terbakar dengan apa yang saya genggam. Saya sadar, kalau saya melakukan hal yang sama ke bapak, berarti saya tidak beda dari bapak.

But still, tons of thoughts about you drive me insane, they keep running in my mind. 
Bapak, did you really think of me when you were leaving? How will it hurt me, how will it ruin my life, how will it give impact to me?

“buah yang jatuh tak jauh dari pohonnya”

Saya jadi sangat benci dengan pepatah itu sejak bapak pergi dan saya rasa bapak bertanggung jawab untuk itu. Setiap hari saya penuh dengan ketakutan, saya takut masa depan, saya takut saya akan ketemu laki-laki yang seperti bapak, atau, laki-laki yang takut dengan saya karena mereka percaya dengan pepatah itu?

Saya, saya, saya sangat berduka. Dan saya sadar terlalu lama terpuruk dengan duka. Lalu saya sadar, buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya adalah buah-buah yang memang belum masak dan tidak cukup tangguh diterpa angin, akhirnya mereka jatuh. Atau buah yang terlalu masak, tapi tidak mencoba untuk berguna bagi orang lain, akhirnya, mereka jatuh atau habis digerogoti binatang-binatang yang lapar. Tapi saya, saya buah yang berbeda, saya tidak jatuh di dekat pohon, saya yakin saya akan sengaja dipetik karena sebelumnya sudah dengan sengaja dipelihara, sampai akhirnya saya jadi buah yang berkualitas. Apa saya terlalu berlebihan? Saya rasa tidak, Pak. Saya sadar, saya harus lebih kuat dari orang lain, karena hidup saya berbeda, and moreover “karena menjadi kuat adalah tanggung jawab masing-masing orang, bukan tanggung jawab orang lain,” I’ve ever once read in a novel.  Saya suka menemukan kata-kata ini, tapi sedih, kenapa saya nggak dengar nasihat ini dari bapak saya. So, it will be the end of my letter. I really wish the happiest birthday to my forever-sweet-black-coffee man, Bapak. Semoga Bapak senantiasa dalam perlindungan Allah. Selamat ulang tahun.



 Loves,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar