Sabtu, 09 November 2013

A 'broken' white gown



Aku masih sibuk dengan riasan mataku di depan meja rias kecil di ujung kamarku. Setelah gagal mendandani mataku dengan smokey eyes Stella McCartney, aku mencoba gaya smokey eyes Georgio Armani, riasan mata yang aku rasa masih cocok untuk gaun broken white tanpa lenganku ini. Aku sangat antusias menghadiri acara malam ini, prom night, sebuah pesta kejayaan anak-anak SMA setelah kelulusan where everybody will dress him/her up as perfect as he/she  can, sebuah acara yang akan didatangi anak-anak SMA ber-tuxedo dan bergaun anggun. Aku sendiri yakin kalau acara ini tidak akan sama persis dengan bagaimana seharusnya prom night diselenggarakan, yaaa tidak mungkin ada dansa di sekolahku. Yet, whatever  it is, tiga tahun penuh aku menyiapkan penuh gaun ini untuk kupakai diacara yang paling dipuja-puja semua orang di sekolah. Terdengar berlebihan mungkin, tapi itu yang terjadi.
Tiga tahun lalu, saat aku diterima di sekolah populer ini aku mulai menabung untuk membuat gaun ini, ya gaun selutut tanpa lengan berwarna broken white ini adalah karya agung tanganku sendiri. Modelnya sederhana, tidak terlalu banyak detail di bagian dada, hanya aksen lipatan-lipatan saja yang sengaja aku buat untuk menyembunyikan badanku yang sangat kurus. Tampilannya manis, apalagi kuserasikan dengan jepit rambut berbentuk kupu-kupu yang senada, ditambah dengan riasan wajah yang tak terlalu menor tapi cukup berani dengan garis mata smokey eyes Georgio Armani yang baru saja  sukses kulukis di kelopak mataku. I'm not as that beautiful, trust me, I just feel gorgeous, terdengar sangat berlebihan lagi memang, tapi entahlah, aku merasa sangat percaya diri dengan gaun broken white buatanku ini. I'm sure that this  so-so girl can be the queen tonight, who doesn't wanna be the queen of prom night anyway? pasti hanya the boys yang menolak, yep.. 'cause they deserve to be the King.
          “Nad, Nadia.... Nadia, kamu sudah siap nak? Ini Bara udah jemput kamu,” teriak ibu dari ruang tamu membuyarkan imajinasi tinggiku di depan meja rias kecil ini. Aku segera ke depan menyusul suara teriakan ibu dan menemui Bara.
          “Ibu apaan sih teriak-teriak,” rengekku, “Nadia nggak berangkat sama Bara,” jelasku pada Ibu dengan merendahkan  suara. Ibu tak menjawab, hanya menaikkan alis yang aku juga tidak tahu artinya dan berlalu.
          “Kamu serius nggak mau bareng sama aku? Emang udah ada yang jemput kamu?”
        “Aaaah Bara bawel  deh, udah ya, aku udah ada yang jemput nanti, kamu berangkat aja duluan, lagian mending juga aku nggak berangkat ke prom night daripada harus berangkat sama kamu. Aku udah susah payah bikin gaun ini, aku nggak mau ini rusak cuma karena aku dibonceng kamu.”
          “Ya kita berangkat naik taksi Nad, aku udah panggil taksinya...”
          No, thanks, buddy, bukannya arogan sih, tapi sayang juga kalo my whole-life piggy bank  yang udah aku sulap jadi gaun dan stiletto yang harganya berkali-kali lipat dari duit bulanan aku dipake ke prom night cuma dinaikin taksi yang ongkosnya empat puluh ribu doang dari sini ke sana.”
          “Emang siapa Nad? Orang yang jemput kamu?”
          “Bara udah deh ya jangan bawel, besok pagi pasti aku sms buat cerita semuanya,daaaaah.”
          Aku kembali lagi ke kamar, mengambil clutch berwarna kopi susu yang senada dengan stilettoku yang sengaja kutinggal di kamar saat aku tahu yang datang Bara, bukan Eros.
          Dua puluh menit lebih aku menunggu Eros. Acara sudah dimulai lima belas menit yang lalu menurut undangan. Baru saja kuputuskan mau menelfonnya, ponselku sudah berdering dengan nama Eros di layarnya.
          “Halo, gimana, Ros? Udah daritadi.Kamu dah sampe mana? Apa? Nggak jadi? Ha? Serius nggak sih? Halo? Halo? Ros? Eros!!!???!!!! Halooooooo??”
Tiga tahun aku menyiapkan gaun dengan menyisihkan uang jajan dan waktuku untuk menjahit dengan tanganku sendiri, dihancurkan Eros kurang dari lima menit dengan alasan rumah kami tidak sejalan, repot dan macet kalau harus menjemput aku. Damn!!! Sebelah mana sih jalan dari rumah Eros ke sekolah mampir rumahku yang nggak sejalan itu? Emang dia lewat Pakistan dulu???? Aku kecewa, hampir saja air mataku tumpah dan merusak riasan yang aku persiapkan tidak kurang dari dua jam.
          “Sini bapak anter, bapak mau ke arah Sudirman, nggak jauh dari sekolah kamu,” tawaran bapak seperti petir, bagaimana tidak, aku menolak Bara yang sudah menjemputku dengan taksi padahal rumahnya di dekat sekolah dan sekarang aku akan datang ke acara agung hanya dengan membonceng motor empat tak yang spionnya  sudah  pecah satu dan tidak diganti itu. Berat hati, kududukkan juga badanku di belakang badan bapak, membonceng dengan tertunduk selama perjalanan. Rasanya aku ingin membakar diriku sendiri dengan bensin premium yang ada di motor ini.
          “Udah pak. Nadia turun sini aja. Nadia bisa jalan kaki sampai sekolah.”
          “Loh nduk, ini masih dua kilo kalau kamu jalan, bisa mandi keringat kamu nanti.”
          “Nadia nggak pa-pa kok Pak. Udah ya, Nadia turun disini aja,” dengan memaksa akhirnya bapak menurunkan aku di tepi jalan, hampir dua kilometer menuju sekolahku. Mukaku mulai menitihkan peluh, kakiku juga sedikit lecet karena tersandung batu, yaaaa everyone will never want to dream it, jalan kaki-barefoot­ dengan  menenteng clutch dan stiletto kopi susu, memakai gaun yang sangat cantik lengkap dengan riasan wajah yang sempurna. Aku tahu pipiku menghangat saat aku tahu aku sampai di depan sekolah. Bara memelukku, mengusap air mata yang hampir melunturkan riasan make up murahan yang kupakai.
          “Nadia, kamu harusnya bilang ke aku, aku bisa jemput kamu lagi kalau kamu mau,” tangisku tambah pecah mendengar yang dikatakan Bara, pundakku mulai berguncang mencoba menahan. Bara memelukku lebih erat lagi, menenangkan aku di tengah riuhnya pesta yang sedang menyoraki the King and the Queen of prom night of this year.
          Berselimut tuxedo Bara aku membonceng motornya. Stiletto super mahalku itu tergantung di dalam tas kresek sangat tidak anggun di bawah spion motornya. Aku bersandar di pundaknya mencari ketenangan.
          “Aku bego banget sih,  Bar. For many years, sacrificing myself to prepare this fucking prom night tapi akhirnya malah menghancurkan semuanya cuma gara-gara menolak tawaran kamu naik taksi. Aku ini, kacang lupa kulitnya,” aku masih merengek, masih menangis dengan menyandarkan kepalaku dari belakang. Aku merasakan punggung Bara berguncang, dia tertawa.
          “Mana ada kacang atom inget kulitnya, kan udah pake tepung, hahaha,” tawanya begitu renyah, mencoba menghiburku.
          “Bara apaan sih, aku lagi sedih bukannya ditenangin malah diketawain aja!!”
          “Hahahaaa, ini bukan ngetawain kamu Nadia, aku lagi hibur kamu biar nggak sedih.” Bara meneruskan tawanya yang renyah dengan bersenandung kecil, aku menikmatinya dengan sayup-sayup mulai mengantuk.
          “Anyway, you look so gorgeous tonight, sebenernya nggak cuma malam ini, tapi gaun kamu, riasan kamu and your extravagant stiletto and clutch bikin kamu tambah manis, Nad. Seharusnya setiap hari kamu dandan cantik begini, pasti nggak ada yang nggak noleh ke kamu. Aku suka kamu, Nad.”
Aku tidak mendengar jelas suara Bara karena rasa kantukku yang sudah menyerang ditambah beberapa anak muda norak membawa motornya yang sangat berisik dengan ngebut,tapi sepertinya Bara tadi bilang suka gaunku. Aku tersenyum, lega. “Thanks, Bara. Nggak sia-sia juga aku bikin gaun ini kalau ada yang muji, lain kali kalo kamu butuh dibuatin tuxedo bilang aja ya!” aku mengencangkan peganganku di pinggulnya, Bara tak menjawab lagi ucapanku, kami diam, entah mungkin kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing, aku masih membayangkan aku yang mendapatkan mahkota sintesis warna silver itu dan mungkin Bara masih membayangkan memakain  tuxedo buatanku, pikirku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar