image taken from http://weheartit.com/entry/70786394
Aku masih sibuk dengan riasan mataku di depan meja rias kecil di ujung kamarku. Setelah gagal mendandani mataku dengan smokey eyes Stella McCartney, aku mencoba gaya smokey eyes Georgio Armani, riasan mata yang aku rasa masih cocok untuk gaun broken white tanpa lenganku ini. Aku sangat antusias menghadiri acara malam ini, prom night, sebuah pesta kejayaan anak-anak SMA setelah kelulusan where everybody will dress him/her up as perfect as he/she can, sebuah acara yang akan didatangi anak-anak SMA ber-tuxedo dan bergaun anggun. Aku sendiri yakin kalau acara ini tidak akan sama persis dengan bagaimana seharusnya prom night diselenggarakan, yaaa tidak mungkin ada dansa di sekolahku. Yet, whatever it is, tiga tahun penuh aku menyiapkan penuh gaun ini untuk kupakai diacara yang paling dipuja-puja semua orang di sekolah. Terdengar berlebihan mungkin, tapi itu yang terjadi.
Tiga tahun lalu, saat aku diterima di
sekolah populer ini aku mulai menabung untuk membuat gaun ini, ya gaun selutut
tanpa lengan berwarna broken
white ini adalah karya agung
tanganku sendiri. Modelnya sederhana, tidak terlalu banyak detail di bagian
dada, hanya aksen lipatan-lipatan saja yang sengaja aku buat untuk menyembunyikan badanku
yang sangat kurus. Tampilannya manis, apalagi kuserasikan dengan jepit
rambut berbentuk kupu-kupu yang senada, ditambah dengan riasan wajah yang tak
terlalu menor tapi cukup berani dengan garis mata smokey eyes Georgio Armani yang baru saja
sukses kulukis di kelopak mataku. I'm
not as that beautiful, trust me, I just feel gorgeous, terdengar sangat
berlebihan lagi memang, tapi entahlah, aku merasa sangat percaya diri dengan
gaun broken white buatanku ini. I'm sure that this so-so girl
can be the queen tonight, who doesn't wanna be the queen of prom night anyway? pasti hanya the boys yang menolak, yep.. 'cause they deserve to be the King.
“Nad,
Nadia.... Nadia, kamu sudah siap nak? Ini Bara udah jemput kamu,” teriak ibu
dari ruang tamu membuyarkan imajinasi tinggiku di depan meja rias kecil ini. Aku
segera ke depan menyusul suara teriakan ibu dan menemui Bara.
“Ibu
apaan sih teriak-teriak,” rengekku, “Nadia nggak berangkat sama Bara,” jelasku pada
Ibu dengan merendahkan suara. Ibu tak
menjawab, hanya menaikkan alis yang aku juga tidak tahu artinya dan berlalu.
“Kamu
serius nggak mau bareng sama aku? Emang udah ada yang jemput kamu?”
“Aaaah
Bara bawel deh, udah ya, aku udah ada
yang jemput nanti, kamu berangkat aja duluan, lagian mending juga aku nggak
berangkat ke prom night daripada
harus berangkat sama kamu. Aku udah susah payah bikin gaun ini, aku nggak mau
ini rusak cuma karena aku dibonceng kamu.”
“Ya
kita berangkat naik taksi Nad, aku udah panggil taksinya...”
“No, thanks, buddy, bukannya arogan sih,
tapi sayang juga kalo my whole-life piggy
bank yang udah aku sulap jadi gaun
dan stiletto yang harganya berkali-kali lipat dari duit bulanan aku dipake ke prom night cuma dinaikin taksi yang
ongkosnya empat puluh ribu doang dari sini ke sana.”
“Emang
siapa Nad? Orang yang jemput kamu?”
“Bara
udah deh ya jangan bawel, besok pagi pasti aku sms buat cerita semuanya,daaaaah.”
Aku
kembali lagi ke kamar, mengambil clutch berwarna
kopi susu yang senada dengan stilettoku yang sengaja kutinggal di kamar saat
aku tahu yang datang Bara, bukan Eros.
Dua
puluh menit lebih aku menunggu Eros. Acara sudah dimulai lima belas menit yang
lalu menurut undangan. Baru saja kuputuskan mau menelfonnya, ponselku sudah
berdering dengan nama Eros di layarnya.
“Halo,
gimana, Ros? Udah daritadi.Kamu dah sampe mana? Apa? Nggak jadi? Ha? Serius nggak
sih? Halo? Halo? Ros? Eros!!!???!!!! Halooooooo??”
Tiga tahun aku menyiapkan gaun dengan
menyisihkan uang jajan dan waktuku untuk menjahit dengan tanganku sendiri,
dihancurkan Eros kurang dari lima menit dengan alasan rumah kami tidak sejalan,
repot dan macet kalau harus menjemput aku. Damn!!!
Sebelah mana sih jalan dari rumah Eros ke sekolah mampir rumahku yang nggak
sejalan itu? Emang dia lewat Pakistan dulu???? Aku kecewa, hampir saja air
mataku tumpah dan merusak riasan yang aku persiapkan tidak kurang dari dua jam.
“Sini
bapak anter, bapak mau ke arah Sudirman, nggak jauh dari sekolah kamu,” tawaran
bapak seperti petir, bagaimana tidak, aku menolak Bara yang sudah menjemputku
dengan taksi padahal rumahnya di dekat sekolah dan sekarang aku akan datang ke
acara agung hanya dengan membonceng motor empat tak yang spionnya sudah
pecah satu dan tidak diganti itu. Berat hati, kududukkan juga badanku di
belakang badan bapak, membonceng dengan tertunduk selama perjalanan. Rasanya
aku ingin membakar diriku sendiri dengan bensin premium yang ada di motor ini.
“Udah
pak. Nadia turun sini aja. Nadia bisa jalan kaki sampai sekolah.”
“Loh
nduk, ini masih dua kilo kalau kamu
jalan, bisa mandi keringat kamu nanti.”
“Nadia
nggak pa-pa kok Pak. Udah ya, Nadia turun disini aja,” dengan memaksa akhirnya
bapak menurunkan aku di tepi jalan, hampir dua kilometer menuju sekolahku. Mukaku
mulai menitihkan peluh, kakiku juga sedikit lecet karena tersandung batu, yaaaa everyone will never want to dream it,
jalan kaki-barefoot dengan menenteng clutch
dan stiletto kopi susu, memakai gaun yang sangat cantik lengkap dengan
riasan wajah yang sempurna. Aku tahu pipiku menghangat saat aku tahu aku sampai
di depan sekolah. Bara memelukku, mengusap air mata yang hampir melunturkan
riasan make up murahan yang kupakai.
“Nadia,
kamu harusnya bilang ke aku, aku bisa jemput kamu lagi kalau kamu mau,” tangisku
tambah pecah mendengar yang dikatakan Bara, pundakku mulai berguncang mencoba
menahan. Bara memelukku lebih erat lagi, menenangkan aku di tengah riuhnya
pesta yang sedang menyoraki the King and
the Queen of prom night of this year.
Berselimut
tuxedo Bara aku membonceng motornya.
Stiletto super mahalku itu tergantung di dalam tas kresek sangat tidak anggun di bawah spion
motornya. Aku bersandar di pundaknya mencari ketenangan.
“Aku
bego banget sih, Bar. For many years, sacrificing myself to
prepare this fucking prom night tapi akhirnya malah menghancurkan semuanya cuma
gara-gara menolak tawaran kamu naik taksi. Aku ini, kacang lupa kulitnya,” aku
masih merengek, masih menangis dengan menyandarkan kepalaku dari belakang. Aku merasakan
punggung Bara berguncang, dia tertawa.
“Mana
ada kacang atom inget kulitnya, kan udah pake tepung, hahaha,” tawanya begitu
renyah, mencoba menghiburku.
“Bara
apaan sih, aku lagi sedih bukannya ditenangin malah diketawain aja!!”
“Hahahaaa,
ini bukan ngetawain kamu Nadia, aku lagi hibur kamu biar nggak sedih.” Bara
meneruskan tawanya yang renyah dengan bersenandung kecil, aku menikmatinya
dengan sayup-sayup mulai mengantuk.
“Anyway, you look so gorgeous tonight, sebenernya
nggak cuma malam ini, tapi gaun kamu, riasan kamu and your extravagant stiletto and clutch bikin kamu tambah manis,
Nad. Seharusnya setiap hari kamu
dandan cantik begini, pasti nggak ada yang nggak noleh ke kamu. Aku suka kamu,
Nad.”
Aku tidak mendengar jelas suara Bara
karena rasa kantukku yang sudah menyerang ditambah beberapa anak muda norak
membawa motornya yang sangat berisik dengan ngebut,tapi sepertinya Bara tadi
bilang suka gaunku. Aku tersenyum, lega. “Thanks,
Bara. Nggak sia-sia juga aku bikin gaun ini kalau ada yang muji, lain kali
kalo kamu butuh dibuatin tuxedo
bilang aja ya!” aku mengencangkan peganganku di pinggulnya, Bara tak menjawab lagi ucapanku,
kami diam, entah mungkin kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing, aku
masih membayangkan aku yang mendapatkan mahkota sintesis warna silver itu dan
mungkin Bara masih membayangkan memakain
tuxedo buatanku, pikirku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar