picture: pinterest/ While You were Sleeping
Sore
ini mendung, mungkin sebentar lagi hujan mulai membasahi bumi. Aku suka suasana
seperti ini, terasa begitu syahdu dan romantis, apalagi jika ada adegan
berlari-lari kecil dengan pacar pakai jaket seadanya. Jam tanganku menunjukkan
pukul empat sore kurang sepuluh menit, aku baru saja menyelesaikan mata kuliah
ke tiga di hari Senin ini. Usai kelas, aku tak langsung meninggalkan kampus
untuk pulang, sengaja aku ke warung bakso depan kampus untuk menemui Aryo,
mahasiswa Komunikasi semester 5 yang sekaligus sahabatku yang kuliah di kampus
depan, sebuah Universitas Negeri yang cukup di favoritkan di kota ini.
Meski
kampus kami berhadapan, tapi kampus kami tidak pernah mengenal kata tawuran
seperti sekolah menengah, jelaslah, sudah bukan usianya. Dengan muka yang sudah
lusuh dan rambut yang tak kalah lusuh aku segera ke depan. Sebenarnya aku
menunggu pacarku menjemput, tapi sehari tak bertemu Aryo itu seperti aku makan
sayur tanpa garam, tidak bisa aku dan dia tidak bertukar cerita sehari saja.
Setibaku disana, dengan cepat aku duduk di samping Aryo, aku tak harus memesan pada
pemilik warung bakso, karena dengan kedipan mata dan acungan jempol saja mereka
sudah tahu harus membuatkan apa, bakso kuah tanpa mie, tanpa pangsit, dengan
sawi, bawang goreng, dan garam yang banyak serta segelas es jeruk yang sangat
manis. Aryo melempar senyumnya padaku, seperti biasa. Senyumnya masih saja
mematikan meski aku tiap hari bertemu, mungkin juga karena dipengaruhi faktor
wajahnya yang mirip Herjunot Ali. Tanpa menyapa, dia masih sibuk menghabiskan
baksonya.
***
Mendungnya sore ini, membuat aku
yakin tidak lama lagi kota ini basah. Aku benci hujan. Sebenarnya bukan masalah
yang besar jika hujan, hanya karena aku tak punya mobil, rasanya hujan selalu
datang tidak tepat waktu. Hari Senin, hari yang sangat santai. Kuliah hanya dua
kredit, mulai kelas pukul sebelas dan belum genap pukul satu kelas akan
dibubarkan. Seperti biasa dan seperti mahasiswa pada umumnya, aku tidak
langsung meninggalkan kampus karena aku harus rapat ditambah menunggui Maya,
mahasiswi Teknik Sipil semester 5, sahabatku yang kuliah di sebuah Universitas
swasta yang cukup bergengsi. Kampusnya hanya berseberangan dengan kampusku,
jadi aku menungguinya di warung bakso depan kampusku, bukan, depan kampusnya.
Ah, dimana sajalah.
Sebenarnya
tak menjadi kewajiban juga menemui dia setiap hari, tapi melewatkan sehari saja
tidak menemui sahabatku ini rasanya seperti bermain sepak bola tanpa pernah
dapat kesempatan menendang bola. Mendekati pukul empat Maya sudah menampakan
hidungnya, dia langsung menghampiriku dan dengan hangat menyapa yang hanya
kubalas dengan senyumanku. Ya, dia pribadi yang sangat hangat, ditambah dengan
wajahnya yang begitu manis, kehangatan pribadinya semakin sempurna. Dengan
mengedipkan mata dan mengacungkan jempol dia tak perlu repot-repot memesan
bakso dengan segala prasyaratnya, pemilik warung bakso ini sudah sangat hafal
apa yang akan dipesan Maya. Duduk di sebelahku,dia langsung sibuk dengan smartphone-nya, sedang aku masih
menikmati semangkuk bakso yang kedua kalinya aku pesan.
***
“ Yok, Lo nggak
kepikiran macarin gue?” tanyaku membuka percakapan. Aryo tersedak, sepertinya
dia sangat kaget mendengar aku bertanya.
“ Gue lagi makan,
bisa nggak sih nggak bikin kaget gitu, nanya yang waras dikit kenapa?”
protesnya dengan masih terbatuk-batuk.
“ Lo kaget ya?
Hahahaha, berasa kena petir ya sama pertanyaan gue?” tukasku sambil tertawa.
“ Gimana nggak
kaget cungkriiiing. Lo nanya tiba-tiba, masalah pacaran lagi, sensi gue.” Jawab
Aryo menimpali.
“ Ya gue tu khawatir
aja sama Lo, tampang sih kayak Herjunot Ali, tapi pacar satu aja nggak ada.
Ati-ati lho, jangan-jangan lo bakal jadi perjaka tua, jadi, buat nolongin lo
buat keluar dari zona kesendirian lo, gue rela kalo lo emang mau.Aren’t you scared to life alone? Or you are
scared to love? Ahahahaaa basi banget lo.” Aku meledeknya.
“ Eh sialan lo
cungkring, gue tu bukan nggak laku, cuma gue emang nyari yang bener-bener
tepat.” Dia membela.
“ Tepat sih tepat,
tapi ya nggak gini juga sih Yok. Coba lo inget-inget lagi, terakhir lo pacaran
tu pas kelas satu SMP sebelum akhirnya sekelas sama gue kan? Sama siapa tuh
namanya gue lupa. Cewek behel merah yang pakai kacamata bulet kayak punya Harry
Potter tapi frame-nya pink, hahahaa”
aku tertawa puas bernostalgia.
“ Renata namanya,
bukan cewek behel.” Aryo menjawab dengan nada sangat malas.
“ Ihh lo kok kayak
marah gitu sih sama gue. Iya-iya Renata. Masih demen Renata ya lo, om?”
“ Enak aja, gue udah
males aja ngomonginnya.” Jawabnya tak kalah malas dari sebelumnya.
“ Maaf deh, eh tapi
lo masih suka cewe, kan, Yok?” aku masih saja usil bertanya sembari menikmati
semangkuk bakso yang sudah disajikan di mejaku.
“ Lo makin ngeselin
ya pertanyaannya. Gue kan dah bilang, gue cuma lagi nyari yang paling tepat
aja, emang elo, gonta ganti pacar kayak ganti sepatu. Kalo gue mau ambil
kesimpulan buat lo setiap tahun satu pacar, eh jumlah mantan lo lebih banyak
tuh dari usia lo.” Balasnya dengan sedikit pembelaan.
“ Eh itu bukannya
gonta-ganti ya, tapi, lo pernah denger nggak sih kalo kita tuh sering
dipertemukan dengan orang yang salah sebelum akhirnya kita menemukan orang yang
tepat.”
“ Salah tapi kalo
nggak pake dateng ke kost-an malem-malem dengan nangis-nangis darah sih nggak
masalah.” Ledek Aryo menyindirku.
“ Sialan lo, gue
kan sayang makanya gue nangis tiap kali putus, itu tuh sakit ...”
Belum selesai aku
berbicara, dia memotong.
“ Banget, kebayang
kan lo udah merancang masa depan yang sempurna banget tiba-tiba kita harus
bubar, hahaha sampai hafal gue.” Aryo menirukanku dengan berpura-pura sedang
menangis.
Aku tidak sakit hati
mendengarnya meledekku. Tawaku justru menjadi. Entah, bersama dia selalu saja
ada alasan untuk selalu tersenyum.
Aryo, kenapa sih lo nggak baca perasaan gue yang paling
dalem? Kenapa lo nggak ngisi hati gue di saat kosong? Jadi gue nggak harus
menutupi perasaan gue yang kosong dengan gonta-ganti pacar. Gue sayang lo, Yok.
Harusnya lo tahu itu, Yok.
***
Warung bakso rasanya jadi hanya
milik kami berdua. Penuh gurauan kami yang saling meledek satu sama lain. Maya
tak pernah tersinggung dengan cara bercandaku, aku juga sebenarnya tak pernah
keberatan saat dia harus menangis karena sedang putus cinta. Justru, aku ingin
melindungi.
May, coba aja lo tahu, sebenernya gue udah nemuin yang
paling tepat buat gue, yaitu elo. Tapi lo terlalu cepat mengisi kekosongan hati
lo yang nampaknya nggak bisa lebih lama lagi sendiri tanpa cowok dengan gelar
pacar. Gue sayang sama lo, May, sayang banget.
***
“ Mmm, May,”
tiba-tiba Aryo memanggilku dengan nada yang cukup serius. Hatiku berdebar.
Entah, tak pernah seperti ini sebelumnya.
“ Ya?”
“ Viko dateng jam
berapa? Udah mau hujan nih. Gue anter lo pulang ya?” Pertanyaannya sangat
berbeda dari yang aku harapkan.
“ Oh. Katanya sih
bentar lagi sampe kok.” Aku menjawab dengan kecewa, entah, aku juga salah
tingkah.
“ Kirain dia masih
ribet urusan kampus. Umm, May?”
“Ya?” hatiku
berdebar lagi menunggui dia berbicara lagi.
“ Bagi minum, es jeruk gue habis.”
“...”
this short story was written in 2013
this short story was written in 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar